satu Rokaat solat khouf - Drs. Dame Siregar, M.A

satu Rokaat solat khouf

Share This

 


KRITIK MATAN TENTANG HADIS-HADIS

SATU RAKA’AT SALAT KHAUF

Drs. Dame Siregar, M.A.

A.    Latar Belakang Masalah

 Hadis Nabi berkedudukan sebagai sumber ajaran Islam, di samping Alquran. Ditinjau dari periwayatannya, Hadis Nabi berbeda dengan Alquran. Periwayatan ayat-ayat Alquran berlangsung secara mutawatir, sedangkan hadis-hadis Nabi periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan ada yang ahad. Karena Alquran dilihat dari segi kapasitasnya ada yang mempunyai kedudukan qati al-wurud, sedangkan Hadis-hadis Nabi pada umumnya mempunyai kapasitas zanni al-wurud.[1] Dengan demikian, ayat-ayat Alquran tidak perlu lagi dilakukan penelitian tentang orisinalnya, sedangkan Hadis Nabi, dalam hal ini yang berkategori ahad, masih diperlukan penelitian. Dengan penelitian itu akan diketahui, apakah hadis yang bersangkuatan dapat dipertanggung jawabkan periwayatannya atau tidak.

Kitab-kitab hadis yang beredar di tengah-tengah masyarakat yang telah dijadikan pegangan oleh umat Islam sebagai sumber ajaran Islam termuat dalam kitab-kitab Hadis yang disusun oleh para ulama setelah lama Nabi wafat (11 H/632 M). Jarak antara wafatnya Nabi dengan penulisan Hadis sangat jauh, dikhawatirkan terjadi kelemahan pada sanad dan matan. Dengan demikian, diketahuilah apakah hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis tersebut yang dapat dijadikan sebagai hujjah.

Oleh karena itu kegiatan penelitian ini tidak hanya ditujukan kepada materi hadis itu saja (matan), tetapi juga berbagai hal yang berhubungan dengan periwayatan (sanad), yakni rangkaian para perawi yang menyampaikan matan hadis tersebut. Untuk mengetahui apakah satu hadis dapat dipertanggung jawabkan keorisinalannya berasal dari Nabi, diperlukan penelitian matan dan sanad hadis yang bersangkutan.

Penelitian matan atau naqd matan dikenal dengan istilah kritik intern (an-naqd ad-dakhil) atau an-naqd al-batin, sedangkan penelitian sanad atau naqd as-sanad, istilah yang dipakai ialah kritik ekstren atau an-naqd al-kharij, atau an-naqd az-zahiri.

Para ulama dalam bidang ini telah menyusun berbagai kaidah yang berkaitan dengan penelitian matan dan penelitian sanad. Dalam kitab-kitab tersebut dan perbedaan-perbedaan antara kaidah yang berlaku dalam ilmu hadis dan ilmu sejarah. Untuk meningkatkan hasil penelitian yang lebih akurat (cermat), kedua ilmu ini dapat memberikan sumbangan yang saling bermanfaat.[2]

Hadis-hadis yang telah diteliti sanad dan matannya, serta diketahui bahwa hadis tersebut berstatus maqbul dapat diterima sebagai dalil, tetapi kalau hadis tersebut juga bertentangan dengan hadis lain yang berstatus maqbul, atau bertentangan dengan dalil yang sah, maka kegiatan penelitian masih perlu diteruskan, yang diteliti bukanlah status maqbulnya melainkan apakah hadis yang diteliti dapat diamalkan (ma’mul bih) atau tidak dapat diamalkan (gairu ma’mul bih).

Kitab-kitab hadis yang disusun oleh para mukharrijnya masing-masing, arti istilah mukharrij adalah periwayat hadis yang menghimpuan hadis-hadis yang diriwayatkannya ke dalam kitab yang disusunnya, misalnya Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Abu Daud. Menurut riwayat hadis, baik sanadnya maupun matannya, itu berarti bahwa para muhkarrij tersebut bersikap terbuka, yakni mempersilahkan para ahli yang berminat untuk meneliti sebuah hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis yang mereka susun. Keterbukaan ini tidak hanya tertuju kepada para ahli peneliti hadis yang sezaman dengan para mukharrij saja, tetapi juga kepada para pakar yang hidup sesudah generasi.

Di antara hadis-hadis yang berstatus seperti dikemukakan terdahulu adalah hadis-hadis Nabi yang berkaitan masalah satu raka’at salat khauf, karena salat khauf itu masih ada yang memahami dan mengamalkan seperti salat hadir dan sebagian belum mengetahui ada dalil boleh sat raka’at. Tidak logis salat khauf seperti salat hadir, karena salat safar empat raka’at menjadi dua raka’at dan waktunya dikumpul menjadi satu waktu (qasar jama’) dengan syarat takut ada fitnah dari orang kafir. Tentu salat dalam perang lebih takut fitnah orang kafir ketimbang ketimbang salat safar. Demikian juga salat witir boleh satu raka’at dengan sebab takut menyatu dengan salat subuh. Oleh karena itu hadis-hadis satu raka’at salat khauf dicantumkan di bawah ini sebagai latar belakang penelitian ini:

1.      Hadis Riwayat an-Nasai

أخبرنا إسحاق بن إبراهيم قال حدثنا وكيع قال حدثنا سفيان عن الأشعث بن أبي الشعثاء عن الأسود بن هلال عن ثعلبة بن زهدم قال: -كنا مع سعيد بن العاصي بطبرستان ومعنا حذيفة بن اليمان فقال أيكم صلى مع رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاة الخوف فقال حذيفة أنا فوصف فقال صلى الله عليه وسلم صلاة الخوف بطائفة ركعة صف خلفه وطائفة أخرى بينه وبين العدو فصلى بالطائفة التي تليه ركعة ثم نكص هؤلاء إلى مصاف أولئك فصلى بهم ركعة. [3]

 

Artinya: Menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim berkata ia, menceritakan kepada kami Waki’ berkta ia, menceritakan kepada kami Syufyan dari Asy’as bin Abi Sya’sai dari Aswad bin Hilal, dari Tsa’labah ibn Zahdam berkata ia: ketika kami bersama Sa’id bin al-‘Ash sewaktu di Thibristan, waktu itu di tengah kami ada Hudzaifah bin al-Yaman. Kata Sa’id: siapa di antara kalian yang pernah ikut salat khauf bersama Rasulullah saw? Jawab Hudzaifah “Aku”. Selanjutnya Huzaifah menerangkan tentang salat khauf yang pernah dilakukan Rasulullah saw membagi pasukannya menjadi dua bagian. Sebagian ikut salat bersama beliau, sedang sebagian yang lain bediri di antara beliau musuh untuk berjaga-jaga. Pada mulanya Rasulullah saw menyelesaikan satu raka’at bersama pasukannya  yang salat di belakang beliau. Setelah menyelesaikan satu raka’at, maka barisan yang ikut salat bersama beliau segera maju menuju ke garis depan untuk berjaga-jaga, sedangkan mereka yang tadinya berjaga segera ikut salat bersama Rasullulah saw sebanyak satu raka’at.

أخبرنا قتيبة قال حدثنا أبو عوانة عن بكير بن الأخنس عن مجاهد عن ابن عباس قال:-فرض الله الصلاة على لسان نبيكم صلى الله عليه وسلم في الحضر أربعا وفي السفر ركعتين وفي الخوف ركعة. [4]

 

Artinya: Menceritakan kepada kami Qutaibah, menceritakan kepada kami Abu ‘Aunah dari Bakir bin Ahknas dari Mujahid dari Ibn Abbas berkata ia, Allah telah memfardukan salat lisan Nabi-Nya, salat empat raka’at bagi yang mukim, dua raka’at bagi yang sedang bepergian, dan satu raka’at bagi yang melaksanakan salat khauf.

 

أخبرنا عمرو بن علي قال حدثنا يحيى قال حدثنا شعبة عن عبد الرحمن بن القاسم عن أبيه عن صالح بن خوات عن سهل بن أبي حثمة:
-أن رسول الله صلى الله عليه وسلم صلى بهم صلاة الخوف فصف صفا خلفه وصفا مصافو العدو فصلى بهم ركعة ثم ركعة ثم ذهب هؤلاء وجاء أولئك فصلى بهم ركعة ثم قاموا فقضوا ركعة ركعة.
[5]

 

Artinya: Menceritakan kepada kami ‘Amru bin Ali berkata ia, menceritakan kepada kami Yahya berkata ia, menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abdul Rahman bin Qasim dari bapaknya dari Salih bin Khowat dari Sahal bin Abi Hasamah dikatakan bahwasanya Rasulullah saw pernah melakukan salat khauf bersama pasukannya. Pada mulanya beliau membagi pasukannya menjadi dua. Sebahagian ikut salat di belakang belaiu, sedang yang lain tetap berada digaris depan untuk berjaga. Setelah menyelesaikan satu raka’at bersama Rasulullah saw, maka pasukan yang tadinya ikut salat di belakang beliau segera maju ke garis depan, sedangkan pasukan yang tadinya berjaga-jaga di garis depan segera ikut bergabung dalam salat bersama Rasulullah saw sebanyak satu rakaat. Jadi kedua pasukan tersebut melakukan salat satu raka’at satu raka’at.         

 

2.      Hadis Riwayat Ibn Majah

حدثنا محمد بن الصباح. أنبأنا جرير، عن عبيد الله بن عمر، عن نافع، عن ابن عمر؛ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم، في صلاة الخوف ((أن يكون الإمام يصلي بطائفة معه. فيسجدون سجدة واحدة. وتكون طائفة منهم بينهم وبين العدو. ثم ينصرف الذين سجدوا السجدة مع أميرهم. ثم يكونون مكان الذين لم يصلوا. ويتقدم الذين لم يصلوا فيصلوا مع أميرهم سجدة واحدة. ثم ينصرف أميرهم وقد صلى صلاته. ويصلي كل واحد من الطائفتين بصلاته سجدة لنفسه. فإن كان خوف أشد من ذلك، فرجالا أو ركبانا)). قال: يعني بالسجدة الركعة.[6]

 

Artinya: Menceritakan kepada kami Muhammad bin Ash-Shabbah, memberitakan kepada kami Jarir, dari Ubaidullah bin Umar, dari Nafi’ dari Inu Umar dia berkata: Rasulullah saw bersabda, perihal shalat khauf: yaitu shalat khauf adalah imam megerjakan shalat dengan sekelompok kaum, mereka melakukan sujud sekali. Sedangkan kelompok lainnya dari mereka itu berada antara mereka dan musuh, kemudian orang-orang yang melakukan satu sujud, rakaat, bersama pemimpin mereka merampungkan shalat. Kemudian mereka berada di tempatt mereka yang belum salat, dan orang yang belum salat itu maju, lalu mengerjakan salat bersama pemimpin mereka dengan satu sujud, rakaat saja. Kemudian pemimpin mereka merampungkan dan dia mengerjakan salat sendiri. Dan setiap kelompok dari dua kelompok tersebut mengerjakan salat satu rakaat dengan/bersama salatnya imam. Maka bila rasa takutnya itu lebihh daripada yang tersebut, maka boleh mengerjakan salat dengan cara berjalan atau dengan cara berkendaraan.

 

Dalam penelitian tentang sanad dan matan hadis-hadis satu raka’at salat khauf perlu diadakan kritik dari segi sanadnya apakah bersambung atau tidak dari 4 jalur mukharrij (an-Nasai 3 jalur, Ibn Majah 1 jalur ). Dari segi matan akan dicari hadis-hadis pendukung dari riwayat lain contoh ril satu raka’at salat khauf. Adapun signifikansi penelitian ini agar pembaca dapat mengetahui dan mengamalkan satu raka’at salat khauf.

Dari latar belakang tersebut di atas, peneliti ingin meneliti kualitas hadis-hadisnya baik dari sanad maupaun matannya.

 

B.     Rumusan Masalah

Penelitian ini membahas tentang kualitas sanad dan matan hadis yang berkaitan dengan satu  raka’at salat khauf, maka yang ingin dicari dalam penelitian ini adalah tentang kualitas (nilai) sanad dan matan tersebut. Oleh karena itu permasalahan pokok yang muncul adalah : ”Bagaimanakah kualitas sanad dan matan hadis tentang satu  raka’at salat khauf”. Permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :

1.      Bagaimanakah kualitas sanad hadis tentang satu  raka’at salat khauf?

2.      Bagaimanakah kualitas matan hadis tentang satu  raka’at salat khauf?

 

C.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Untuk menjawab pertanyaan yang ada dalam rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

1.      Untuk mengetahui kualitas sanad hadis tentang satu  raka’at salat khauf.

2.      Untuk mengetahui kualitas matan hadis tentang satu  raka’at salat khauf.

Adapun kegunaan penelitian ini adalah agar hadis-hadis tersebut bisa dijadikan hujjah atau dalil, maka perlu diteliti kualitas hadis dari segi sanad dan matannya, untuk lebih rinci guna penelitian ini adalah:

  1. Sebagai penetapan kualitas sanad dan matan hadis apakah sahih, hasan dan da’if dari segi ulumul hadis.
  2. Sebagai informasi tentang kualitas sanad dan matan hadis satu  raka’at salat khauf  kepada para ulama dan mujtahid sebagai bahan kajian lanjutan untuk menetapkan hukumnya.
  3. Sebagai kontribusi kajian hadis dalam lembaga pendidikan seperti STAIN, IAIN dan UIN.

 

D.    Kajian Teoritis

1.      Kaidah Kesahihan Sanad

Kata sanad dari bahasa Arab, yaitu :”سند. Yang berarti “المعتمد sesuatu yang diperpegangi, penyandaran[7]. Dikatakan demikian karena matan bersandar dan berpegang pada sanad. Dalam masalah ini ada beberapa pendapat ulama hadis antara lain :

a.       Ajjaj al-Khatib, Jalur matan atau disebut dengan (طريق المتن) yakni rangkaian para perawi yang memindahkan matan dari sumber-sumbernya.[8]

b.      Mahmud at-Tahhan mendefenisikan bahwa sanad ialah rangkaian para perawi yang menghubungkan pada  matan.[9]

c.       M. Syuhudi Ismail mengatakan bahwa sanad ialah susunan rangkaian para periwayat.[10]

Dari beberapa pengertian di atas, kaidah kesahihan sanad dapat diartikan suatu rumusan yang dipakai untuk mengukur kebenaran atau keabsahan para perawi yang terdapat pada sanad. Tolak ukur keabsahan perawi tersebut terdiri dari lima kriteria, yaitu kebersambungan sanad, adil, al-dabit, tidak ada syaz dan `illat.

Ibnu Salah (w. 643 H) seorang  ulama yang berpengaruh besar pada masa hidupnya dan sesudahnya merumuskan kaidah kesahihan sanad sebagai berikut :

2.      Kaidah Kesahihah Hadis

الحديث الصحيح فهو الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل  الضابط  الى  منتهاه  ولا يكون  شاذا  ولا معللا[11]

                                                                                                                                  

Artinya :”Adapun hadis sahih ialah hadis  yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan, (periwayat yang adil dan dabit  sampai akhir sanad). Di dalam hadis itu tidak terdapat kejanggalan (syaz) dan cacat (`illat)

 

Rumusan yang dikemukakan oleh Ibn as-Salah kemudian diringkas oleh an-Nawawi dan as-Suyuti dengan rumusan sebagai berikut :

مااتصل سنده با لعدل الضابط من غير شذوذ وعلة[12]

 

Artinya: “Hadis  sahih ialah hadis  yang bersambung sanadnya (diriwatkan oleh orang-orang) yang `adil dan dabit serta tidak terdapat (di dalam hadis  itu) kejanggalan (syaz) dan cacat (`illat).

 

Itulah antara lain kaedah kesahihan sanad hadis yang disepakati mayoritas ulama hadis yang kemudian dijadikan sebagai acuan umum untuk menguji dan menentukan kualitas suatu hadis .

Dari rumusan yang dikemukakan di atas ditarik kriteria kaedah kesahihan sanad hadis terdiri dari lima macam. Kelimanya terdapat pada kesahihan sanad dan dua terakhir sebagai acuan kesahihan matan. Adapun lima kriteria kesahihan sanad tersebut adalah :

a.       Sanad (periwayat hadis ) bersambung mulai dari mukharrijnya     

     (penghimpun hadis ) sampai kepada Nabi.

b.      Para periwayat bersifat adil

c.       Para periwayat bersifat dabit.

d.      Sanad hadis  tersebut terhindar dari syaz

e.       Sanad hadis  terhindar dari ‘illat.

Keterhindaran dari syaz dan ‘illat dalam kriteria kaedah kesahihan di atas, juga merupakan kriteria kesahihan matan. Oleh karena itu ulama hadis  pada umumnya mengatakan bahwa hadis  yang sahih sanadnya, belum tentu matannya sahih, demikian juga matan yang sahih belum tentu sanadnya sahih.[13] Jadi kesahihan sesuatu hadis  tidak hanya ditentukan oleh kesahihan sanadnya saja, melainkan juga ditentukan oleh kesahihan matannya.

Hadis yang dinilai sahih apabila memenuhi kelima kriteria kesahihahan hadis. Untuk memperjelas pengertian kaedah-kaedah tersebut para ulama hadis  telah memberikan batasan-batasan sebagai berikut :

 

a.      Keadaan sanad bersambung

Yang dimaksud sanad bersambung adalah tiap-tiap perawi yang menerima hadis  dari perawi lain yang terdekat sebelumnya. Keadaan periwayatan itu bersambung sampai akhir sanad hadis .[14] Jadi seluruh rangkaian perawi dari mukharij (pengumpul hadis) sampai perawi yang menerima hadis  dari Nabi bersambung dalam periwayatannya.

Untuk mengetahui persambungan sanad tersebut adalah dengan cara menelaah biografi perawi serta metode yang digunakan dalam proses periwayatannya. M. Syuhudi Ismail menjelaskan bahwa sanad hadis  yang dapat dikatakan bersambung apabila : pertama, seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar siqah (‘adil dan dabit) dan menggunakan sigat atau lambang periwayat yang syah, seperti kata سمعت (saya dengar)  حدثينى  (ia ceritakan kepada saya) dan lain-lain. Kedua, antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat benar-benar terjadi hubungan periwayatan yang syah yakni unsur liqa’ (perjumpaan) atau kesezamanan hidup (mu’assaroh).[15] Seorang periwayat diduga sezaman (mu’asir) dengan gurunya, jika ia dinilai sebagai seorang yang dipercaya dan tahun wafat antara keduanya tidak terlalu jauh, sekalipun ia menggunakan lafal tahammul dan lafal-lafal selain tersebut di atas.[16]

Ulama hadis umumnya menamai hadis sahih jika seluruh rangkaian periwayatannya bersambung dengan istilah muttasil atau mausul, baik itu bersambung sampai kepada Nabi atau hanya kepada sahabat. Jadi hadis  muttasil atau mausul ada yang disandarkan kepada Nabi saw yang dalam istilah ilmu hadis  disebut hadis marfu’ dan ada yang disandarkan kepada sahabat yang disebut hadis  mauquf.[17]

 

b.      Periwayatan bersifat `adil

Kata adil (bahasa Indonesia) sebenarnya berasal dari bahasa Arab (al-‘adil) yaitu bentuk masdar  dari kata kerja ‘adala. `Adil secara etimologi berarti : pertengahan (al-i’tidal), lurus (al-istiqamah) condong kepada kebenaran (al-ma’il ila al-haqq). Orang yang bersifat adil disebut ­al-adil.[18] Adapun keriteria periwayat yang adil menurut pendapat ulama hadis  adalah : 1.Beragama Islam, 2.  Mukallaf, 3. Melaksanakan ketentuan agama. 4. Memelihara muru’ah.[19]

Adapun yang dimaksud dengan menjaga muru’ah adalah menjaga kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri untuk tegaknya kebajikan moral dalam kebiasaan sehari-hari.[20] Sementara yang dimaksud melaksanakan ketentuan agama ialah teguh dan istiqamah dalam melaksanakan ajaran agama, tidak berbuat dosa besar dan  kecil dan tidak melakukan maksiat dan harus berakhlak mulia.

Beragama Islam artinya periwayat sewaktu menyampaikan hadis  dalam keadaan memeluk agama Islam, walaupun sewaktu menerima hadis  dia belum memeluk agama Islam. Jadi orang yang diterima riwayatnya hanya orang-orang sewaktu dia menyampaikan hadis  kepada muridnya orang tersebut dalam keadaan memeluk agama Islam. Mukallaf maksudnya periwayat yang balig (dewasa) dan berakal sehat menjadi syarat adil ketika menyampaikan hadis kepada orang lain. Pada saat menerima hadis  periwayat boleh saja belum dewasa tetapi dia sudah mumayiz (dapat memahami maksud pembicaraan dan membedakan sesuatu).[21]

Khusus terhadap semua sahabat Nabi, jumhur ulama hadis  menilai mereka bersifat ‘adil.[22] Oleh karena dalam kegiatan kritik terhadap periwayat hadis dari  sisi ‘adalah sahabat Nabi tidak dipermasalahkan dan tidak perlu diadakan kritik dan penilaian terhadap mereka.

 

c.       Periwayat bersifat dabit

Secara etimologi kata dabit secara etimologi berarti : yang kokoh, yang tepat dan yang hapal dengan sempurna. Secara terminologi menurut ahli hadis  berbeda-beda, menurut al-‘Asqalani, orang dabit adalah orang yang kuat hapalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hapalannya kapan saja ia kehendaki.[23] Sebagian ulama mengatakan dabit adalah orang yang mendengar pembicaraan itu sebagaimana seharusnya, dia memahami dari pembicaraan itu, dengan benar lalu menyampaikan hapalannya dengan sungguh-sungguh, setelah berhasil kemudian dia mampu menyampaikan hapalannya kepada orang lain dengan baik.[24] Subhi as-Salih berpendapat orang dabit adalah orang yang mendengar riwayat sebagaimana sebenarnya, dia memahami dengan pemahaman yang jelas, kemudian  dia menghapal secara sempurna, kemudian dia mampu menyampaikan kepada orang  lain.[25]

Dari beberapa pendapat ulama di atas ada tiga kriteria yang harus dimiliki seorang dabit  yaitu :

1.      Periwayat itu memahami dengan baik apa yang telah didengarnya (diterima) dari orang lain yang terdekat kepadanya.

2.      Periwayat itu hapal dengan baik apa yang telah didengarnya atau diterimanya.

3.      Periwayat itu mampu menyampaikan apa yang telah dihapalnya dengan baik kapan saja diperlukan dan di mana saja tempatnya kepada orang lain.

Sebagian ulama berpendapat bahwa bagi seorang dabit yang penting adalah hapalannya karena hapalan yang baik dari riwayat yang diterimanya, berarti dia telah memahami apa yang dihapalnya. Oleh karena itu mereka tidak memasukkan  bukti pemahaman terhadap hadis  menjadi suatu syarat bagi orang yang dabit. Oleh karena itu orang yang mempunyai hapalan dan pemahaman yang baik mempunyai kedabitan yang lebih tinggi[26]. Imam as-Suyuti mengatakan, apabila telah terkumpul pada seseorang periwayat hadis  sifat yang adil dan dabit maka seorang perawi itu siqah[27]

d.      Keadaan sanad tidak syaz

Dalam bahasa Arab kata syaz secara etimologi memiliki beberapa arti, yakni:  yang menyendiri, yang asing, yang menyalahi aturan, yang jarang dan menyalahi orang banyak.[28] Menurut istilah ilmu hadis, pengertian syaz sebagaimana dikemukakan al-Hakim, hadis syaz adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang siqah, tetapi tidak ada periwayat siqah yang lain meriwayatkan.[29] Lebih lanjut lagi dijelaskan Imam Syafi’i sebagaimana yang dikutip oleh M. Syuhudi Ismail mengatakan suatu hadis dinyatakan tidak mengandung syaz bila hadis itu hanya diriwayatkan oleh seorang  periwayat yang siqah, sedang periwayat yang siqah lainnya tidak meriwayatkan hadis itu. Sebaliknya suatu hadis  mengandung syaz apabila hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqah tersebut bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat.[30]

Ulama-ulama Muhaddisin belakangan ini lebih cendrung memperpegangi pendapat Imam Syafi’i karena penerapannya tidak sulit. Apabila pendapat al-Hakim yang diperpegangi maka banyak hadis  yang mayoritas ulama hadis  telah menilai  hadis  sahih menjadi tidak sahih. Mengetahui terjadinya syaz dalam suatu hadis dengan membandingkan berbagai sanad dan matan yang mengandung  permasalahan yang sama.

e.       Terhindar dari  ‘illat

Dalam bahasa arab, kata ‘illat adalah bentuk kata benda dari kata kerja ‘alla, ya’illu yang megandung arti: penyakit, cacat dan keburukan[31] Dalam istilah ilmu hadis ‘illat berarti sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadis . Keberadaannya menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak berkualitas sahih menjadi tidak sahih.[32] `Illat biasa juga terdapat pada sanad dan matan saja atau pada sanad dan matan sekaligus, namun yang paling terbanyak ‘illat terjadi pada sanad. Menurut kalangan Muhaddisin, jalan untuk megetahui ‘illat ialah dengan terlebih dahulu menghimpun semua jalur sanad yang berkaitan dengan suatu hadis. Setelah itu seluruh rangkaian dan kualitas periwayat baik dari aspek ‘adil dan dabit pada sanad itu diteliti berdasarkan pendapat para kritikus periwayat hadis.

Apabila keadaan sanad telah memenuhi kelima kaedah kesahihan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa sanad itu adalah sanad yang sahih (valid) dan dijadikan sebagai hujjah dalam hukum.

Untuk mengetahui suatu hadis apakah sanadnya bersambung, ‘adil, dabit, tidak syaz dan terhindar dari ‘illat diperlukan informasi tertulis dari berbagai buku sejarah rijal  al-hadis  yang mengandung informasi tentang sejarah hidup perawi, baik yang berkenaan dengan proses penerimaan hadis (tahammul wa al-ada), kelebihan dan kekurangan kualitas pribadi, kapasitas intelektual para periwayat hadis dan lain sebagainya.

Ada tiga sikap para kritikus dalam mengkritik para periwayat hadis yaitu :

a.       Ulama yang bersikap ketat (tasyaddud) dalam mengkritik para periwayat hadis, baik dalam sifat ke adilan dan ke dabitannya atau sebaliknya. Di antara ulama tersebut adalah al-Nasa’i (w.303 H), ‘Ali bin Abdillah bin Ja’far as-Sa’idi al-Madini, (w.234 H), Al-Jauzani (w.289 H), Abu Hatim ar-Razi (w.277 H), Ibn Abi Hatim ar-Razi (w.294 H), Syu’bah bin al-Hijjaj (w.160 H), Ibn al-Qattan (w.198 H), Ibn Ma’in (w.233 H), Ibn Madini (w.234 H) dan Yahya al-Qattan (w.198 H).

b.      Ulama yang bersikap longgar (tasahul) dalam mengkritik para periwayat Hadis, yaitu Jalal ad-Din as-Suyuti, (w.911 H), At-Tirmizi (w.276 H), Al-Hakim (w.405 H), Ibn Hibban (w.354 H), Al-Bazzar (w.292 H), Asy-Syafi’i (w.203 H), At-Tabrani (w.360 H), Abu Bakar al-Haisami (w.807 H), Al-Munziri (w.656 H), Al-Tahanawi (w.321 H), Ibn Khuzaimah (w.311 H), Ibn Sakan (w.353 H), Al-Baihaqi (w.458 H), dan Al-Bagawi (w.510 H).

c.       Ulama bersikap moderat (tawassut) dalam mengkritik para periwayat hadis, di antaranya az-Zahabi, (w.748 H), Al-Bukhari (w.256 H), Ad-Dar al-Qutni (w.385 H), Ahmad bin Hanbal (w.241 H), Abu Zur’ah (w.281 H), Ibn ‘Adi (w.242 H), dan Ibn Hajar al-‘Asqalani (w.582 H).[33]

Dari penggolongan di atas tentu sangat berpengaruh sekali dalam menentukan penilaian para periwayat hadis dan kualitas hadis itu sendiri. Dalam hubungannya dengan evaluasi yang negatif dan positif terhadap kualitas periwayat, para ulama kritikus telah merumuskan beberapa lafaz sesuai dengan tingkat kepositifannya (keterpujian) dan kenegatifannya (ketercelaannya). Oleh karena itu periwayat hadis jumlahnya banyak dan kualitasnya tidak sama, maka kata-kata atau kalimat yang dipakai dapat dikelompokkan dalam peringkat-peringkat tertentu sesuai dengan kualitasnya yang kemudian dikenal dengan istilah maratib al-jarh wa at-ta’dil (tingkat ketercelaan dan keterpujian para periwayat).

Jumlah susunan dan urutan alfaz al-jarh wa at-ta’dil yang dikemukakan ulama hadits ternyata juga terdapat sedikit perbedaan. Ibn Salah misalnya, menetapkan empat peringkat masing-masing untuk sifat keterpujian dan ketercelaan.[34] Sementara az-Zahabi menetapkan lima peringkat.[35] Sedangkan Ibn Hajar al-Asqalani dan as-Suyuti menetapkan enam peringkat.[36] Karena lebih rinci dan mencakup pendapat lainnya, ulama kontemporer, seperti al-Khatib, Mahmud at-Tahhan, dan Bayumi Adlani umumnya mengikuti pendapat al ‘Asqalani dan as-Suyuti.[37] Keenam masing-masing peringkat tersebut baik yang berkaitan denan keterpujian maupun yang berhubungan dengan ketercelaan serta status kehujahannya sebagai berikut :

a.       Lafal-lafal keterpujian dan peringkatnya

Adapun tingkatan ta’dil :

1.      Kata-kata yang menunjukkan “mubalaghah” (bersangatan) dengan bentuk ism tafdil (superlatif), misalnya :اوثق الناس(orang yang paling          siqat/terpercaya)  ضبط الناس   (orang yang paling dabit),طير  ليس له(tiada bandingannya).

2.  Kata-kata yang menunjukkan kepercayaan misalnya : ثقة ثقة 

     teguh terpercaya) ثبت ثبت (teguh-teguh), ثبت ثقة  (teguh terpercaya).

3.  Kata-kata yang menunjukkan sifat ‘adil dengan kata yang menyiratkan kedabitan, tanpa ada pengulangan, Misalnya,   ثقة    (terpercaya)    ثبت   (teguh)    ثقة مامون  (kukuh, sempurna).

4.  Kata-kata yang menunjukkan sifat ‘adil tetapi menggunakan kata yang tidak menyiratkan kedabitan yang kuat. Misalnya: ثقة مامون (sempurna) صدوق, (sangat jujur)مامون  (dapat diberi amanah) لابأس به  (tidak cacat).

5.  Kata-kata atau lafal, seperti, شيخ وسط (Syeikh pertengahan)جيد الحديث (baik  hadisnya),  صدوق يخطئ, صدق له او هام    dan lain-lain.

6.   Kata-kata yang maknanya mendekati makna jarh (cacat) misalnya :      الحديث صالع  (baik hadisnya)  صدوق ان شألله  (sangat jujur Insya Allah).

Adapun tingkatan jarh :

1.      Kata-kata yang menunjukkan tingkatan yang paling buruk (cacat) seperti :    اوضع الناس (orang yang paling membuat-buat).  

2.      Kata-kata yang menunjukkan mubalaghah (bentuk bersangatan), misalnya,  كذاب  (sangat pendusta),   ضعيف جدا  (lemah sekali).

3.      Kata-kata yang menunjukkan bahwa perawi pendusta, pemalsu dan mengada-ada, misalnya ( يسرق تلحديث, متهم بالو ضعمتهم بالكذب ).

4.      Kata-kata yang menunjukkan kedai’fan yang berlebihan misalnya.

مردود الحديث ( tertolak hadis nya)       مطروح الحديث     (tertolak hadisnya).

5.      Kata-kata yang menunjukkan penilaian da’if atas perawi atau kerancuan hafalannya misalnya : ضعفوهلايحتج به

6.      Kata-kata yang menunjukkan kelemahan periwayat, akan tetapi dekat dengan ta’dil, misalnya : [38]ليس بحجة       ضعف

Para ulama kritikus hadis menggunakan kata-kata yang peringkatnya berbeda dengan apa yang digunakan oleh kebanyakan kritikus hadis . Ibnu Ma’in misalnya, apabila ia menilai seorang periwayat hadis  dengan ungkapan la ba’sa bihi atau fihi nazr, penilaian tersebut tidak masuk pada peringkat keempat, akan tetapi peniaian itu menunjukkan periawayat yang siqah.[39]

Periwayat hadis yang mendapat penilaian dari kritikus hadis  seperti yang tercantum pada peringkat-peringkat lafal di atas merupakan gambaran tingkat kualitas sanad hadis. Dalam menetapkan peringkat-peringkat lafal-lafal yang dijadikan hujjah di kalangan ulama hadis terdapat perbedaan pendapat. At-Tahhan menetapkan tiga peringkat, pertama dapat dijadikan hujah, meskipun antara yang satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan. Peringkat antara yang satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan,sedangkan peringkat keempat dan kelima tidak dapat dijadikan hujah, akan tetapi hadisnya tetap dan ditulis dan diuji  dengan hadis  yang lain (al-i’tibar). Peringkat kelima berada dibawah pringkat keempat. Sementara peringkat keenam tidak dapat dijadikan hujah, akan tetapi dapat dijadikan i’tibar, bukan ikhtibar. Hal ini disebabkan kondisi periwayatannya telah nyata ketidakdabitannya.[40]

Al-Khatib dan ‘Abbas al-Bayumi menetapkan empat peringkat ta’dil. Peringkat pertama dapat dijadikan hujjah, sedangkan dua peringkat terahir tidak dapat dijadikan hujjah dan hanya dapat dijadikan perbandingan (al-i’tibar) dengan hadis  yang lain.[41] Ab­Husein Lubabah mempunyai pandangan yang sama dengan dua tokoh yang disebutkan terakhir, hanya ia membedakan tingkat kehujjahan antara tiga peringkat pertama dengan peringkat keempat. Tiga peringkat pertama dinilainya sahih sedangkan peringkat keempat dinilainya hasan. Sementara dua peringkat terakhir hanya dapat ditulis untuk dapat dipertimbangkan. Hadis nya akan diterima apabila ditemukan jalur yang lain yang dapat menguatkannya.[42]

Dalam menetapkan peringkat lafal tajrih di atas, seperti halnya ta’dil. Ulama Muhaddisin berbeda pendapat. Menurut at-Tahhan, orang yang mendapat penilaian pada empat peringkat pertama, maka hadisnya tidak dapat dijadikan hujah, hanya bisa dijadikan i’tibar.[43]

Perbedaan pendapat di kalangan ulama kritikus hadis dalam menilai seorang periwayat sering menilainya tidak dabit. Hal itu menimbulkan persoalan bagi peneliti hadis. Misalnya seorang periwayat dinyatakan siqah oleh sebagian kritikus dan dinilai tidak siqah oleh ulama kritik hadis  yang lain.

Menurut ‘Abd al-Wahab ‘Abd al-Latif ada empat faktor yang menyebabkan terjadinya kontradiksi penilaian terhadap kedabitan seorang periwayat. Pertama, fanatisme terhadap sekte teologis tertentu. Kedua, fanatisme terhadap suatu mazhab fiqih. ketiga, kekeliruan dalam menetapkan ke’adilan seseorang. Keempat, dikalangan kritikus hadis  terjadi persaingan sehingga pada waktu marah mereka memberikan penilaian negatif terhadap orang yang menjadi lawannya.[44]

Selain itu perbedaan penilaian bisa juga terjadi karena sebagian kritikus hadis  memberikan penilaian at-tajrih berdasarkan informasi ketercelaan yang terdahulu pernah diterimanya tentang seorang periwayat tertentu. Setelah berselang beberapa waktu, periwayat tersebut bertaubat dan diketahui oleh sebagian periwayat yang lain, dan kemudian ia pun menta’dilkannya. Hal yang sama juga bisa terjadi kepada seorang periwayat yang dikenal tidak baik hafalannya oleh gurunya dan ia tidak menulis hadis  darinya. Sementara itu, guru yang lain menilainya siqah karena ia berpegang pada kitab-kitabnya.[45] Di samping faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, perbedaan sikap para kritikus hadis  dalam menerapkan norma-norma kritik tersebut menjadi penyebab munculnya perbedaan penilaian. Di antara mereka ada yang bersikap ketat (mutasyaddid), moderat (mu’tadil), dan longgar (mutasahil).

Untuk menyelesaikan pertentangan penilaian seperti tersebut di atas setidaknya ada tiga pendapat yang berkembang di kalangan al-Muhaddisin  yaitu :

a)      Kritik yang berisi pujian (positif) terhadap para periwayat celaan harus dimenangkan kritik yang berisi pujian, (يقدم التعديل على اللتجريح)   alasannya karena sifat asal periwayat adalah terpuji. Cara ini didukung oleh an-Nasai`. (w. 303 H).

b)      Kritik yang berisi celaan terhadap perawi pujian harus dimenangkan kritik yang berisi celaan يقدم التجريح على التعديل)) alasannya :

1. Ulama yang mengemukakan celaan lebih mengetahui keadaan periwayat dari pada ulama yang memuji periwayat tersebut.

2.      Dasar memuji dari ulama yang memuji periwayat hanya persangkaan baik semata.

c)      Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela maka yang dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.

(اذا تعار ض الجار ح والمعدل فالحكم المعدل الااذا اثبت الجارح المفسر)

Adapun syarat-syaratnya sebagai berikut :

1.      Ulama yang mengemukakan celaan benar-benar mengetahui pribadi periwayat yang dicela.

2.      Celaan yang disampaikan haruslah bersandarkan argumentasi yang kuat dan penjelasan yang konkrit.[46]

Cara kedua dan yang ketiga didukung oleh umumnya para ahli hadis , ulama fiqh dan usul fiqh.[47] Yang pertama hanya didukung sebagian kecil ahli hadis. Dengan adanya cara di atas, seorang peneliti harus dituntut bersikap kritis, apabila kritik berisi celaan terhadap para periwayat itu tanpa dijelaskan sebab-sebab ketercelaannya, maka haruslah diteliti juga sang pengkritik tersebut, apakah termasuk ke dalam kategori ketat, longgar atau moderat.

Apabila kritikus itu termasuk ke dalam kategori ketat (tasyadud)  maka ia menilai periwayat yang berkualitas da’if  tanpa memerlukan lagi keterangan akan sebab-sebab keda’ifannya itu. Bagi kritikus yang termasuk kategori moderat (tawassut) akan memperlihatkan sebab-sebab keda’ifannya bisa ditolerir atau tidak melalui syahid, tabi’ atau bantuan jalur lain yang siqah.

Adapun sebagian kritikus yang longgar (tasahul) dalam menilai ketercelaan dan keterpujian periwayat, maka apabila periwayat itu tercela maka langsung cepat-cepat memvonis dengan da’if dan begitu juga apabila periwayat itu adil tanpa memperhatikan lebih jauh lagi sebab ketercelaan dan keterpujiannya.[48]

Mengacu kepada kaidah kesahihan sanad hadis di atas, maka hadis  ahad dari segi kritik sanad bisa atau tidaknya dijadikan sebagai hujah, dapat dibagi kepada dua macam, yaitu hadis maqbul dan hadis mardud. Hadis  maqbul adalah hadis  yang memenuhi semua unsur-unsur kaedah kesahihan hadis. Apabila salah satu unsur-unsur kaidah kesahihan tidak terpenuhi, maka hadis seperti itu tidak dapat dijadikan sebagai hujah(mardud).

Selain pembagian di atas para Muhaddisun membagi hadis kepada tiga macam, yaitu : sahih, hasan dan da’if.[49] Pada prinsipnya, dua macam hadis yang disebutkan pertama adalah hadis  yang telah memenuhi syarat seluruh unsur kaedah kesahihan sanad. Tetapi hadis hasan dari segi tingkat kedabitan periwayat, berada di bawah kedabitan periwayat hadis  yang berkualitas sahih[50].

Hadis yang tidak memenuhi salah satu atau sebagian seluruh unsur-unsur kaedah kesahihan di atas menyebabkan kualitas hadis  tersebut menjadi da’if. [51]48 Ketiga macam hadis  tersebut di atas masing-masing dapat dibagi lagi kepada beberapa bagian. Hadis  sahih dapat dibagi menjadi hadis  sahih li zatih hadis  sahih li gairih. Hadis  sahih li zatih ialah hadis  yang memenuhi seluruh unsur kaedah kesahihan sanad hadis secara utuh. Sedangkan hadis sahih li gairih, pada asalnya bukanlah hadis  sahih, akan tetapi hadis  hasan. Namun, oleh karena ada dukungan hadis  sahih  yang lain maka kualitasnya meningkat menjadi sahih.[52]

Hadis  hasan, seperti halnya hadis  sahih, terbagi kepada dua macam, yaitu hadis  hasan li zatih  dan hadis  hasan li gairih. Hadis  hasan li zatih dari segi unsur-unsur kaidah kesahihan sanad hadis, sama dengan hadis  sahih,  hanya tingkat kedabitan periwayatannya berada sedikit di bawah periwayatan hadis  sahih. Hadis  hasan li gairih berasal dari hadis  da’if. Oleh karena ada pendukung hadis  lain maka yang lebih tinggi kualitasnya, maka kualitasnya meningkat menjadi hasan li gairih. Menurut mayoritas ulama hadis, hadis yang  berkualitas sahih dan hasan dapat dijadikan hujjah.[53]

Hadis  da’if,  seperti dijelaskan di atas, ialah hadis  yang tidak memenuhi kaedah kesahihan sanad hadis. Hadis  yang disebabkan tidak terpenuhinya sanad bersambung dapat  berupa berupa mursal.[54] Hadis  munqati[55], hadis  muallaq       [56], mu’dal,[57] dan mudallas.[58] Jenis hadis  lain yang berkaitan dengan keterputusan sanad adalah Hadis  mu’an’an[59] dan Hadis  mu’annan.[60] Menurut sebagian ulama, hadis  mu’anan merupakan indikasi sanad terputus. Namun demikian mayoritas ulama menilai bahwa hadis  seperti itu diriwayatkan dengan cara as-sama’, apabila memnuhi syarat-syarat sebagai berikut : a) Dalam sanad yang mengandung harf’an, tidak terdapat penyembunyian informasi (tadlis) yang dilakukan periwayat  b) antara periwayat dengan periwayat yang terdekat di antarai oleh haruf ’an itu terjadi pertemuan atau dimungkikan terjadi pertemuan (liqa).[61]

Hadis  da’if karena tidak terpenuhinya syarat periwayat yang adil atau dabit jenisnya cukup banyak karena ketercelaan periwayat banyak macamnya. Secara umum, jenis Hadis yang disebabkan tidak terpenuhinya syarat periwayat yang ‘adil dan dabit ada sepuluh, yaitu : hadis  maudu’[62], hadis  matruk,[63]  hadis  munkar,[64]  hadis  mu’dal,[65] hadis  mudraj,[66] hadis  mudtarib[67] hadis  maqlub,[68] hadis  majhul,[69]  hadis  syaz[70]  dan  hadis mukhtalif.[71]

3.     Kaidah Kesahihan Matan 

Pada kenyataannya seluruh matan hadis yang sampai ke tangan kita berkaitan erat dengan sanadnya, sementara keadaan sanad itu sendiri memerlukan penelitian secara cermat. Oleh karenanya, penelitian terhadap matan juga penting. Kepentingan tersebut tidak hanya karena keterkaitannya dengan sanad, tetapi juga karena adanya periwayatan hadis secara makna. Penelitian matan, pada dasarnya dapat dilakukan dengan pendekatan semantik dan dari segi kandungannya.

Periwayatan hadis secara makna telah menyebabkan penelitian matan dengan pendekatan semantik tidak mudah dilakukan. Hal tersebut adalah karena matan hadis yang sampai ke tangan mukharrijnya masing-masing telah melalui sejumlah perawi yang berbeda generasi dan latar belakang budaya serta kecerdasan. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat menyebabkan terjadinya perbedaan penggunaan dan pemahaman suatu kata ataupun istilah. Meskipun demikian, perbedaan bahasa tersebut sangat diperlukan kareba bahasa Arab  yang dpergunakan Nabi SAW dalam menyampaikan berbagai hadis selalu dalam susunan yang baik dan benar, dan selain itu, pendekatan bahasa tersebut sangat membantu terhadap penelitian yang berhubungan dengan kandungan petunjuk dari matan hadis yang bersangkutan.

Penelitian dari segi kandungan hadis memerlukan pendekatan rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Oleh karenanya, kesahihan matan hadis dapat dilihat dari rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam, di samping dari sisi bahasa.

Pada umumnya, dalam penelitian (kritik) matan dilakukan perbandingan-perbandingan, seperti memperbandingkan hadis dengan Alquran, hadis dengan hadis, dan hadis dengan peristiwan dan kenyataan sejarah, nalar atau rasio, dan dengan yang lainnya.[72] Dengan menghimpun hadis-hadis yang akan diteliti, dan melakukan perbandingan-perbandingan secara cermat, akan dapat ditentukan tingkat akurasi atau kesahihan matan hadis yang sedang diteliti tersebut. Para ulama hadis menemukan 7 alat ukur dalam pelaksanaan penelitian matan hadis, yaitu sebagai berikut :

b.      Perbandingan Matan dengan Alquran

Adapun yang diteliti dalam masalah ini adalah kesesuaian antara matan hadis dengan ayat Alquran. Apabila matan suatu hadis bertentangan dengan ayat Alquran, dan keduanya tidak mungkin dapat dikompromikan, dan tidak dapat pula diketahui kronologi datangnya, seperti mana yang datang duluan dan mana yang kemudian, sehingga dapat dijadikan dasar dalam penetapan nas, serta keduanya juga tidak mengandung takwil, maka hadis tersebut tidak dapat diterima dan dinyatakan sebagai hadis da’if.[73]

Hadis-hadis yang kemungkinan mengandung pertentangand dengan Alquran meliputi bidang-bidang ketuhanan, kenabian, tafsir, hukum pembalasan amal perbuatan manusia, dan masalah-masalah keakhiratan.[74]

c.       Perbandingan beberapa riwayat tentang suatu hadis, yaitu perbandingan antara satu riwayat dengan riwayat lainnya

Caranya adalah dengan membandingkan antara beberapa riwayat yang berbeda mengenai suatu hadis. Denga cara ini, seorang peneliti hadis akan dapat mengetahui beberapa hal, yaitu :

1.      Adanya idraj, yaitu lafaz hadis yang bukan berasal dari Nabi SAW, yang disisipkan oleh salah seorang dari para perawinya, baik perawi yang berasal dari kalangan sahabat atau lainnya.

2.      Adanya idtirab, yaitu pertentangan antara dua riwayat yang sama kuatnya sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan tarjih (menentukan yang lebih kuat) terhadap salah satunya.

3.      Adanya al-qalb, yaitu pemutarbalikan matan hadis, yang hal ini terjadi karena tidak dabitnya perawi dalam hal matan hadis, sehingga dia mendahulukan atau mengkemudiankan lafaz yang seharusnya tidak demikian, atau ada pengubahan (tashhif dan tahrif), yang merusak matan hadis.

4.      Adanya penambahan lafaz dalam sebagian riwayat, atau yang disebut dengan ziyadah al-tsiqat.[75]

d.      Perbandingan Matan dengan hadis Sahih

Dantara kaidah yang disepakati oleh ulama hadis adalah tidak diterimanya suatu hadis yang bertentangan dengan hadis yang mempunyai status yang jelas dan tetap (al-sharihah al-tsabitah).[76] Para ulama hadis sepakat meyatakan bahwa sabda Nabi Muhammad saw tidak bertentangan antara yang saru dan yang lainnya; oleh karenanya, apabila ditemukan pertentangan antara satu sabda Nabi saw dengan sabda beliau yang lain, maka dalam hal ini pasti telah terjadi suatu kekeliruan dalam penukilannya, atau kurang sempurnanya para perawi dalam meriwayatkan sabda atau perbuatan Nabi tersebut, atau karena periwayatan dengan makna yang jauh menyimpang dari teks aslinya, atau karena perawinya me-rafa’-kan (menyandarkan kepada Nabi saw) sesuatu yang bukan merupakan sabda Nabi saw.[77] Dalam menolak suatu riwayat yang disandarkan kepada Nabi saw karena riwayat tersebut bertentangan dengan riwayat yang lain, haruslah terlebih dahulu dipenuhi dua syarat berikut, yaitu:[78]

Pertama, bahwa kedua riwayat tersebut tidak mungkin dikompromikan. Apabila kedua riwayat tersebut dapat dikompromikan secara wajar, tanpa terkesan dipaksakan, maka tidak ada alasan untuk menerima salah satunya dan menolak yang lain. Apabila tidak dapat dikompromikan, maka langkah berikutnya dengan melakukan tarjih, yaitu meneliti hal-hal yang dapat menguatkan salah satu dari keduanya sehingga ditemukan mana yang rajih (yang lebih kuat) dan beramal dengannya dan mana yang marjuh (yang lemah) yang ditinggalkan dan tidak beramal dengannya.

Kedua, bahwa salah satu dari hadis yang bertentangan tersebut berstatus mutawatir, sehingga dapat menolak hadis yang lain yang bertentangan dengannya yang statusnya tidak mutawatir. Syarat yang kedua ini pada dasarnya mengisyaratkan perlunya mempertimbangkan status kuat atau lemahnya eksistensi (darjat al-subut) suatu hadis dibandingkan dengan hadis lain yang bertentangan dengannya. Hadis yang berstatus mutawatir eksistensinya adalah pasti (qat`i al-tsubut) sedangkan hadis yang tidak mutawatir eksistensinya adalah nisbi, tidak mutlak (zhanni al-stubut), sehingga dengan demikian maka yang berstatus pasti (qat`i) harus didahulukan dan diprioritaskan untuk diterima daripada yang nisbi (zhanni). Syarat ini juga dapat diterapkan pada hadis-hadis lain yang statusnya tidak sampai ke derajat mutawatir, namun lebih kuat dari hadis yang bertentangan dengannya. Di dalam ilmu hadis, para ulama hadis telah sepakat menyatakan bahwa setiap hadis yang sanadnya dhai`if, apabila bertentangan dengan yang sahih, maka hukum (status)nya adalah munkar; demikian juga bahwa hadis yang sanadnya sahih, apabila bertentangan dengan yang lebih sahih, maka hukum (status) nya adalah syaz; dan para ulama hadis juga telah sepakat untuk tidak menerima atau menolak hadis munkar dan hadis syaz.[79] 

e.       Perbandingan antara suatu matan hadis dengan hadis dengan berbagai kejadian yang dapat diterima akal sehat, pengamatan panca indera atau berbagai peristiwa sejarah

Langkah selanjutnya dalam meneliti kesahihan mata suatu hadis adalah dengan melakukan perbandingan dengan peristiwa-peristiwa sejarah atau sesuatu yang dapat diterima oleh akal sehat.[80]

Para ulama hadis sepakat menyatakan bahwa hadis-hadis nabi saw tidak bertentangan dengan akal sehat manusia. Akan tetapi, jangkauan manusia adalah berbeda antara satu dan lainnya. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan akal di sini adalah akal yang disinari oleh petunjuk Alquran dan Sunnah Nabi saw yang telah mempunyai kedudukan yang tetap (al-mustanir bi Alquran al-Karim wa Sunna al-Nabi saw al-tsabitah), dan bukan semata-mata akal. [81]

f.       Kritik hadis yang tidak menyerupai kalam Nabi

Kadang-kadang ditemukan suatu riwayat dari Nabi saw yang secara eksplisit tidak langsung bertentangan dengan alquran, sunnah Nabi yang telah berkedudukan tetap, tidak juga dengan akal, pengamatan panca indera, atau kenyataan sejarah, namun kandungan riwayat tersebut tidak menyerupai kalam Nabi saw. Terhadap riwayat yang demikian para ulama hadis tidak segera menerimanya, bahkan justru menolaknya.[82] Memang suatu hal yang tidak mudah bagi para ulama hadis untuk menentukan suatu teks atau redaksi suatu riwayat tertentu adalah bukan menyerupai kalam nabi. Meskipun demikian, ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan patokan dalam menentukan suatu riwayat itu tidak menyerupai kalam Nabi, yaitu :

1.      Riwayat yang memuat spekulasi yang tinggi yang tidak ada ukuran dan pertimbangannya (mujazafah)

2.      Riwayat yang memuat susunan kata yang kacau, tidak sempurna atau tidak beraturan (rakakah)

3.      Riwayat yang memuat istilah-istilah yang dipergunakan oleh generasi yang datang jauh setelah masa rasul saw atau pada masa modern ini.[83]

Riwayat yang mengandung unsur spekulasi tinggi (mujazafah) pada umumnya memuat hal-hal yang sifatnya mengejutkan, menakutkan atau menakjubkan (al-tahwil wa al-a`ajib), yaitu sesuatu yang sulit atau tidak dapat sama sekali diterima oleh akal sehat, baik dari segi lafaz maupun maknanya. Pada umumnya riwayat yang demikian sering dipergunakan oleh para ahli kisah atau tukang cerita dalam rangka menjadikan materi ceritanya terkesan aneh atau luar biasa sehingga menarik perhatian banyak orang. Dengan demikian, para tukang kisah tersebut sekaligus telah merusak berbagai ukuran dan patokan yang telah ditetapkan oleh syara` (agama).

 

g.      Kritik hadis yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar syari`at dan kaidah-kaidah yang telah tetap dan baku

 

Hadis yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar syari`at dan kaidah-kaidah yang telah tetap dan baku di dalam Islam adalah tidak sahih dan tidak boleh disandarkan kepada Rasulullah saw.[84] Di antara dasar-dasar syariat yang telah ditetapkan di dalam Islam berdasarkan petunjuk nash-nash yang banyak yang terdapat di dalam Alquran dan sunnah adalah tanggungjawab manusia terhadap dirinya sendiri dan tidak ada perhitungan dan tanggungjawabnya terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain.[85] Oleh karena itu, seseorang tidak akan dihukum karena kesalahan orang lain.

h.      Kritik hadis yang mengandung hal-hal yang munkar  atau mustahil

Yang dimaksud dengan munkar di sini adalah sesuatu kalimat atau pernyataan yang tidak mungkin lahir atau berasal dari Nabi saw atau para Nabi yang lain. Hal tersebut disebabkan keimanan mereka kepada Allah swt mencegah penyandaran hal-hal yang munkar kepada salah seorang dari mereka. Sedangkan hal-hal yang mustahil adalah mustahil pada zatnya dan dalam hubungannya dengan manusia, meskipun tidak mustahil apabila dikaitkan dengan kodrat dan kekuasaan Allah swt.

Penggunaan kaidah ini tidak berlaku terhadap hadis-hadis yang berhubungan dengan mukjizat, yaitu peristiwa luar biasa, yang tidak tunduk kepada ketentuan-ketentuan adat/kebiasaan, yang diberikan serta diberlakukan oleh Allah swt pada diri Rasulullah saw, dan hadis-hadis yang berhubungan dengan keramat, yaitu peristiwa luar biasa yang terjadi pada diri wali-wali Allah swt, yang hadis-hadis tersebut diriwayatkan melalui jalur yang sahih dan mutawatir. Hadis-hadis yang berhubungan dengan mukjizat atau keramat tidak diriwayatkan secara ahad, tetapi disaksikan dan diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berbohong dan memalsukannya. Karena, di antara karakteristik dari suatu mukjizat adalah diberlakukan oleh Allah swt di hadapan orang banyak, agar mereka selanjutnya mengabarkannya kepada orang-orang yang tidak menyaksikannya, sehingga hal itu menjadi bukti atas kebenaran risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Oleh karena itu, apabila dijumpai riwayat yang memuat peristiwa luar biasa, seperti mukjizat, namun hanya diriwayatkan secara ahad, yaitu melalui satu jalur sanad saja, maka riwayat yang demikian tidak dapat diterima.[86] Demikian tujuh alat ukur yang dijadikan pedoman oleh para ahli hadis dalam menemukan kritik dan penelitian terhadap matan hadis.

Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya penelitian matan hadis menemukan berbagai kesulitan, di antaranya adalah :

1.      Adanya periwayatan hadis secara makna

2.      Acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak satu macam saja

3.      Latarbelakang timbulnya petunjuk hadis tidak selalu mudah diketahui

4.      Adanya kandungan petunjuk hadis yang berkaitan dengam hal-hal yang berdimensi supra-rasional

5.      Masih langkanya kitab-kitab yang membahas secara khusus penelitian matan hadis.[87]

Penelitian sanad dan matan hadis adalah sangat perlu menjadi perhatian para pencinta ilmu hadis, terutama adalah dalam rangka memelihara keorisinilan hadis Nabi saw dari ketercampuran dengan yang bukan berasal dari Nabi saw, dan hasilnya akan memberikan keyakinan kepada umat yang akan mempergunakan hadis, baik untuk dalil atau hujjah dalam merumuskan sesuatu hukum, demikian juga untuk amalan sehari-hari.

 

E.     Kajian Terdahulu

Adapun kitab yang membahas satu  raka’at salat khauf adalah:

Dalam kitab Fiqh Sunnah oleh Sayyid Sabiq tentang tentang satu  raka’at salat khauf menyimpulkan bahwa tidak ada mencantumkan dalil yang membolehkannya.

Dalam kitab al-Fiqhul Islami wa ‘Adillatuhu oleh Wahbah az-Zuhaily menyimpulkan tidak ada membahas satu  raka’at salat khauf.

Pada I’anatut Talibin oleh Muhammad Syattan ad-Dimiati al-Misri menyimpulkan bahwa tidak ada satu  raka’at salat khauf kecuali makmum lebih dahulu selesai membaca tasyahud awal  dari pada imam maka ia boleh berdoa.

Kemudian dalam kitab Fath al-‘Alam Bisyarhil Mursyid al-Anam oleh Muhammad Abdullah al-Jaradani menyimpulkan bahwa satu raka’at salat khauf tidak ada dijelaskan dalam kitab koleksi hadis-hadis hukum oleh Hasbi Ash Shiddiqie menyimpulkan bahwa satu raka’at salat khauf adalah sahih dan tidak diragukan  tetapi belum ditakhrij secara sempurna.

Oleh karena peneliti ingin mentakhrij hadis-hadis tentang satu  raka’at salat khauf dengan mengkritik sanad dan matannya, karena belum ada ditakhrij oleh peneliti sebelumnya.

 

F.     Metodologi Penelitian

1. Metode takhrij.

Objek penelitian ini adalah al-hadis. Oleh karena itu, maka metode yang digunakan adalah metode takhrij tafsil hadis. Metode ini hakekatnya adalah mengetahui kualitas hadis baik dari segi sanad dan matan, apakah sahih, hasan dan da’if.

Hadis sahih menurut bahasa artinya adalah sehat, benar, sah, sempurna. Menurut terminologi adalah: Hadis yang disandarkan kepada Nabi Mu¥ammad saw, yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh (perawi) yang adil dan dabit, diterima dari perawi yang adil dan dabit sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan (syaz), dan tidak ber`illat.[88]

 Hadis hasan adalah hadis yang kualitas hapalan perawinya menengah kemampuannya dihargai. Ibn Hajar al-Asqalani mengemukakan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hapalannya (khafif), bersambung sanadnya, tidak mengandung illat dan tidak syaz.[89]

Hadis da’if, secara bahasa berarti hadis yang lemah, sakit atau yang tidak kuat. An-Nawawi mengemukakan bahwa hadis da`if adalah hadis yang di dalamnya tidak dapat syarat-syarat hadis sahih dan syarat-syarat hadis hasan.

Jadi metode takhrij yang dipakai tujuannya untuk menguji hadis yang sedang diteliti apakah sahih, hasan,ataupun da’if.

2. Sumber Penelitian

Secara metodologi penelitian ini adalah library research (penelitian kepustakaan). Oleh karenanya adalah bahwa sumber-sumber datanya berasal dari bahan-bahan tertulis. Sumber-sumber penelitian ini dapat dibedakan kepada dua macam. Pertama disebut sumber primer dan kedua sumber skunder. Sumber primernya adalah :

3.      AL-Bukhari, Sahih Bukhari, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992

4.      Muslim, Sahih Muslim, Semarang: Toha Putra, tt

5.      Abu Daud, Sunan Abu Daud, Indonesia: Maktabah Dahlan, tt

6.      An-Nasai, Sunan Nasai, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt.

7.      Malik bin Anas, al-Muwattha’, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt.

Sumber skundernya adalah buku-buku berbagai khazanah intelektual tentang persoalan yang berhubungan dengan masalah satu  raka’at salat khauf. Di antara kitab-kitab bidang hadis yang dapat mewakilinya yakni : Musnad Ahmad Ibn Hanbal, oleh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Beirut: Dar al-Katib al-‘Ilmiyah, t.t, dan kitab yang lain dari kutub at-Tis’ah.

Adapaun kitab dalam bidang ulumul hadis adalah : Turuq Takhrij Hadis Rasulullah, oleh   Abu Muhammad bin Abd al-Mahdi bin al-Qari bin Abd al-Hadi, Beirut : Dar al-Katib al-‘Ilmiyah, t.t. kitab Al-Isabah If Tamyiz as-Sahabah, oleh Ibn Hajar al-Asqalani, Beirut: Dar al-Fikr, 1978. kitab Tahzib at-Tahzib, oleh Ibn Hajar al-Asqalani, Beirut: Dar al-Fikr, 1984 M. kitab, Minhaj an-Naqd fi ’ulum al-Hadis, karangan Nur ad-Din Atar, Beirut: Dar al-Fikr, kitab Ulumul hadis wa Mustahaluhu, oleh Subhi as-Salih, Beirut : Dar al-Malayani, 1977. Kitab al-Jarh wa at-Ta’dil, oleh Lubabah Husain, Riyad, oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Beirut : Dar a;-fikr, 1401 H/1981 M. Kitab  Taysir Mustalah al-Hadis, oleh Mahmud at-Tahhan, Beiru : Dar Alquran al-Karim, 1398 H/1979 M. Buku Metodologi Penelitian Hadis Nabi, oleh Muhammad Syuhudi  Ismail,  Jakarta : Bulan Bintang  1992. Buku kaedah Kesahehan Sanad Hadis, oleh Muhammad Syuhudi Ismail Jakarta : Bulan Bintang 1988. Kitab Miftah Kunuz  as-Sunnah, oleh A.J. Wemsick Lahore : Suhail akademi, 1391 h/1971 M. Kitab ‘Al-Mu’jam al-mufahras li alfaz al-Hadis an-Nabawi, oleh A.J. Wensick, Leiden : E.J.Brill, 1936 M.C.D. hadis, versi matan  hadis, al-kutub at-Tis’ah.

3. Teknik analisis data

Sejalan dengan metode takhrij hadis dari segi matan, penulis menempuh tiga tahap dari matan hadis yang diteliti. Pertama, memilih istilah kunci-kunci dari matan al-hadis dalam menjelaskan bahwa satu  raka’at salat khauf. Tehnik yang pertama ini untuk mengidentifikasi seluruh istilah yang berhubungan dengan ikhtar  dan ad-du’a. Kemudian teknik kedua adalah menentukan makna istilah wal yakhtar bima bada dan masyaa dalam hadis-hadis berbagai riwayat dalam kitab  al-tis’ah. Selanjutnya teknik ketiga, mencari makna yang sebenarnya dari istilah tersebut. Dengan mencari makna tersembunyi dari istilah tersebut akan jelas bahwa satu  raka’at salat khauf sangat penting.

Teknik analisis sanadnya adalah dengan melihat ketersambungan, keadilan dan kedhabitan sanad. Kemudian dianalisis apakah sanadnya tidak syaz dan `illat.

4. Langkah-langkah Penelitian.

Takhrij al-hadis adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan dalam memahami dan meneliti hadis secara mendalam dan sistematis sesuai dengan teori yang sudah dilakukan para ulama hadis dan  pengeritik hadis  baik dari segi sanad maupun matan hadis. Dengan demikian hukum dalam satu permasalahan yang telah dihasilkan oleh ulama fikih, sangat menyakinkan, jika penelitian hadis dilakukan kepada dalil-dalil hadis yang bersangkutan. Apabila ditinjau secara seksama, bahwa para mukharrij hadis  al-kutub at-tis’ah, mereka sudah  melakukan penelitian hadis sebelum mereka mebukukannya. Akan tetapi tidak ada salahnya jika penelitian dilakukan lagi dengan cara  mengumpulkan hadis yang telah bersangkutan dari  para mukharrij hadis yang bersangkutan dalam kitab hadis tersebut apakah sahih, syawahid, mutabi’, mutawatir, masyhur, aziz atau garib.

Dengan menggunakan kitab Mu’jam Hadis, dilacak hadis-hadis tentang satu  raka’at salat khauf ke sumber aslinya (kitab hadis yang sembilan), dengan tujuan untuk menemukan sanad yang berisikan para periwayat hadis (al-rijal al-hadis) dan matan serta metode periwayatannya (taham wa al-ada).

Setelah ditemukan seluruh sanad dan matan hadis serta dengan metode periwayatannya,  maka diadakan i’tibar sanad.[90] Yaitu menyertakan seluruh sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu, dengan tujuan supaya nampak secara kongkrit seluruh jalur sanad yang akan diteliti. Bersamaan dengan melakukan i’tibar sanad tersebut, dilakukan pembuatan skema sanad, dengan tujuan supaya memperjelas dan mempermudah proses kegiatan i’tibar. Dalam membuat skema tersebut, akan dibuat di seluruh jalur  sanad dan nama-nama periwayatannya serta lambang  metode periwayatan yang digunakan masing-masing periwayat. Dalam penulisan nama-nama periwayat dimulai dari nama sahabat yang menerima hadis pertama sekali, lalu diikuti seluruh periwayat yang terdapat pada sanad tersebut sampai kepada mukharrijnya (para pengarang kitab  hadis yang sembilan), lalu di antara periwayat yang menerima dan yang menyampaikan, lalu di  antara periwayat sesuai dengan yang tercantum dalam sanad tersebut. Dengan membuat i’tibar sanad, akan ditemukan seluruh perawi yang mutabi’ dan syahid,[91] sebagai pendukung (corroboration). Dan diketahui cara tahammul wa al-ada (penerimaan dan penyampaian)[92] di dalam periwayatan hadis  tersebut .

Selanjutnya melakukan kritik terhadap data pribadi setiap periwayat hadis yang diteliti. Dalam mengkritik pribadi sanad, dapat ditelaah dalam kitab-kitab sejarah para ar-rijal al-hadis (sebgaimana telah dikemukakan di atas), lalu dikonfirmasikan dengan kaidah kesahihan sanad hadis. Karena kepribadian sanad merupakan tolak ukur dalam menilai kualitas hadis yang diriwayatkannya. Dalam hal ini, yang akan diperhatikan adalah proses penerimaan dan penyampaian hadis antara guru dan murid. Tujuannya adalah untuk mengetahui ketersambungan atau keterputusan penerimaan hadis antara guru dengan murid, keadilan, kedabitan perawi. Kemudian perlu diperhatikan tentang agama perawi, apakah dia beragama Islam sewaktu menerima dan menyampaikan hadis tersebut atau tidak, apakah sudah baligh, berakal, tidak fasiq, tidak berbuat maksiyat dan memelihara muru`ah.[93] Kemudian menelaah kedabitan perawi yaitu menelaah tentang kuat dan lemahnya hapalan atau ingatan tentang hadis yang ia terima dari gurunya dan pada saat menyampaikannya kepada orang lain. Seterusnya menelaah tentang syaz yaitu melihat apakah seorang perawi yang siqat bertentangan riwayatnya dengan perawi lain yang siqat (yang lebih umum). Seterusnya melihat `illat sanad, yaitu melihat kecacatan yang tersembunyi, di mana yang tampak pada zahirnya sahih, tetapi sesungguhnya mengandung cacat seperti tadlis. Selanjutnya mengklasifikasikan dan menentukan kualitas hadis berdasarkan kesiqahan sanadnya. Hal ini dilakukan setelah mengintrepretasikan dan menganalisis data-data tersebut berpijak pada landasan teoritis kaedah kesahihan sanad yang ada.

Kemudian membuat kritik matan hadis sesuai dengan kaidah yang dikemukakan oleh Salahuddin bin Ahmad al-Adlabi yaitu : Tidak bertentangan dengan Alquran, tidak bertentangan dengan hadis sahih, tidak bertentangan dengan akal dan realitas sejarah dan sesuai dengan karaktristik kalam atau pembicaraan Nabi.[94]  Selanjutnya dianalisa dan membuat natijah.

 

G.    Sistematika Pembahasan

Pembahasan dalam penelitian ini disusun dalam suatu sistematika berdasarkan bab perbab sebagai berikut : Bab pertama : Pendahuluan, terdiri dari atas Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.

Bab kedua Kajian Teoritis terdiri dari Kaidah Kesahihan Sanad, Kaidah Kesahihan Matan.

Bab ketiga Kualitas Sanad Hadis  terdiri dari Takhrij al-Hadis, Skema Sanad Hadis, Tarjamah ar-Ruwat Hadis

Bab keempat terdiri dari   Kualitas Matan Hadis terdiri dari perbandingan matan hadis dengan Alquran, perbandingan Matan dengan Hadis Sahih, Perbandingan Matan Hadis dengan Akal dan Realitas Sejarah Perbandingan Matan dengan Karakteristik Kalam Nabi.

Bab kelima Penutup terdiri dari Kesimpulan dan saran-saran.

 

 

 



[1]Salah ad-Din al-Adlabi, Manhaj Naqd,al-Matan, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah , 1983), hlm. 239.

[2] M. Syuhudi Ismail, Kaedah-Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah,  (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 202-205.

[3] An-Nasai, Sunan Nasai, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt),  hlm. 212

[4] Ibid.,  hlm. 213

[5] Ibid.,  hlm. 216

[6] Majah, Sunan Ibnu Majah,(Semarang: asy-Syifa, 1992) hlm. 129

[7] Mahmud at-Tahlan, Taisir Mustalah al-Hadis, (Beirut: Dar Alquranil Karim, 1979), hlm.16.

[8] M. ‘Ajjaj al-Khatib,Usul al-Hadis,Ulumuhu wa Mustalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr,1981), hlm.12.

[9]Mahmud at-Tahhan,Usul at-Tahhrij wa Dirasat al-Asanid, (Halb: A-lmaktabah al-Arabiyah, 1978), hlm. 98

[10]M. Syuhudi Ismail, Kaedah-Kaedah Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), , hlm.24.

[11] Abu Amir Usman ibn Abdur Rahman ibn as-Salah, Ulumul Hadis, (Al-Madinah al-Munawwarah : al-Maktabah al-Ilmiyah, 1972), hlm. 10.

[12]Jalal ad-Din ‘Abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuti, Tadrib ar-Rawi, Syarah Taqrib                    an- Nawaw, (Madinah al-Munawwarah: Maktabah al – Ilmiyah, 1972), hlm.10.

[13] M. Syuhudi Ismail, Op. Cit., hlm. 111.

[14] Subhi as-Salih, Mabahis fi i Ulumil Hadis, (Beirut: Dar al-Firk, 1992), hlm.145.

[15] M. Syuhudi Ismail, Op. Cit., hlm. 112-113

[16]Ramli ‘Abdul Wahid, Metode Penelitian Hadis dan Masalahnya, di dalam Journal Analytica Islamica, Volume 1 Nomor 1, Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara,1999, hlm. 86.

[17] Salah ad-Din al-Adlabi, Op. Cit., Metodologi Kritik Matan Hadis, terjemah, M. Qadrari Nur dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004),  hlm. 39.

[18]Muhammad bin Muharram bin Manzur, Lisan al-Arab, (Mesir: Dar al-Misriyah, t.t), hlm. 456-463.

[19] M. Syuhudi Ismail, Op. Cit., hlm. 113 – 118.

[20] Ibid. hlm.116-118.

[21] As-Suyuti, Op. Cit., hlm. 47, al-Khatib,Op. Cit., hlm. 227 dan 232.

[22] Salah ad-Din al-Adlabi, Op. Cit., hlm. 264. Ibn Hajar al-‘Asqalani,Al-Isabah fi Tamyiz as-Sahabah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), Juz  I, hlm.9-10.

[23] Menurut bahasa kata dabit berarti: kokoh, yang kuat, yang tepat, yang hapal dengan sempurna. Lois Ma’luf, Munjid..., hlm. 445.

[24]. Muhammad Abu Zaharah, Usul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hlm. 232.

[25] Salah ad-Din al-Adlabi, Op. Cit., hlm.128.

[26]M. Syuhudi Ismail, Op. Cit., hlm.136.

[27] As-Suyuti, Op. Cit.., hlm. 63.

[28] Manzur, Op. Cit.,Jilid V, hlm. 28-29.

[29] M. Syuhudi Ismail, Op. Cit., hlm. 140. Dari pendapat Imam al– Hakim di atas dapat dinyatakan bahwa hadis syaz tidak disebabkan oleh: a. Periwayat yang siqah, b. Pertentangan matan dan sanad hadis dari para periwayat yang sama-sama siqat. Hadis mengandung syuzuz apabila: a. Hadis itu diriwayatkan oleh seorang periwayat saja, b. Periwayat yang sendirian bersifat siqat.

[30] Dari penjelasan Imam Syafi’i di atas dapat dinyatakan bahwa hadis syaz tidak disebabkan oleh : a. Kesendirian individu periwayat dalam sanad hadis, yang dalam ilmu hadis dikenal dengan istilah Fard Mutlak, b. Periwayat yang  siqat. Sebaliknya hadis mengandung syaz apabila : a. Hadis memiliki lebih dari satu sanad, b. Para periwayat itu seutuhnya siqat, c. Matan dan sanad ada yang mengandung pertentangan. Ibid, hlm. 139.

[31]Manzur, Op. Cit.,  Jilid XVIII, hlm. 498.

[32]Nur al-Din ‘Itar, Al-Madkhal Ila ‘Ulum al-Hadis, (Madinah Munawwarah: Maktabah           al-Ilmiyah, 1972), hlm.  447.

[33]Abu Abdillah Muhammad bin az–Zahabi. Zikr Man Yu’tamad Qauluhu fi al-Jarh wa al– Ta’dil, (Mesir : Matba’ah al-Islamiyah, tt), hlm.159. As-Salah, Op. Cit., hlm. 110-114.

[34]Ibid.

[35] Muhammad bin Ahmad az-Zahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqad ar-Rijal, (t.tp: Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiah, 1963), juz I, hlm.4.

[36] Al-Asqalani, Nuzhat an-Nazar Syarh Nukhbat al-Fikr, (Semarang: Maktabah al-Munawar, t.t), hlm.66-67. Al-Suyuti, Tadrib…, hlm.342-350.

[37] Al-Khatib, Op. Cit., hlm. 75- 277. At-Tahhan, Op. Cit., hlm. 163-166. ‘Abbas Bayumi Adlani, Dirasah fi al Hadis an-Nabawi, (Iskandariyah: Mua’assah Syabab al-Jami’ah,1987), hlm.156–158.

[38] ‘Abd Wahab ‘Abd al-Latif, al-Muktabir al-Jami’ Baina Kitab al-Mukhtasyaruhu al-Mu’tasir fi ‘Ulum al-Asar (Kairo : Maktabah al-Jami’ah al-Azhariyah, 1963), hlm. 246-247

[39] As-Suyuti, Op. Cit., hlm.344.

[40] At- Tahhan, Op. Cit., hlm.153.

[41] Al-Khatib, Op. Cit., hlm.276. Adlani, Op. Cit., hlm.185.

[42] Abu Husein Lubabah, Al- Jarh wa at- Ta’ dil, (Riyad: Dar al-Liwa’, 1979), cet I, hlm. 105.

[43] At-Tahhan, Op. Cit.,hlm.146.

[44] Al-Latif, Op. Cit., hlm.58-61.

[45] Al-Khatib, Op. Cit., hlm.269.

[46] Ismail, Op. Cit., hlm.182.

[47] As-Suyuti, Op. Cit., Juz I, hlm.305-314.

[48] M.Hasby ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang,1974), hlm.373-375.

[49] Al-Khatib, Op. Cit., hlm.305.

[50] As-Salih, Op. Cit., hlm.146-156.

[51] Defenisi hadis da’if menurut ulama hadis adalah hadis yang tidak memenuhi salah satu atau seluruh kaidah hadis yang sahih atau hasan, as-Saleh, Ibid, hlm.165 .

[52] al-Khatib, Op. Cit., hlm. 306.

[53] As- Suyuti, Op. Cit., Juz I, hlm.160

[54].Kata mursal adalah bentuk isim maful dari kata arsala yang berarti melepaskan. Hubungannya dengan hadis da’if adalah seolah-olah sanadnya lepas dari periwayat yang terkenal. At-Tahhan, Op. Cit., hlm. 70. Menurut istilah Muhaddisin, Hadis mursal adalah hadis yang disandarkan oleh tabi’in kepada Nabi, baik perkataan, perbuatan atau taqrir, tanpa menyebutkan sahabat Nabi sebagai periwayat hadis. al-Khatib, Op. Cit., hlm. 338

[55]Hadis munqati’ ialah hadis yang sanadnya terputus dari segi manapun. As-Suyuti, Op. Cit., hlm.207-208

[56]Hadis mu’allaq ialah hadis yang periwayat pada awal sanadnya terputus seorang atau lebih secara berturut-turut. At-Tahhan, Op. Cit., hlm. 68.

[57]Hadis mu’dal ialah hadis yang sanadnya terputus dua orang atau lebih secara berturut-turut As-Suyuti, Op. Cit., hlm. 211.

[58] Secara etimologi, tadlis berarti bercampur gelap dan terang. Kala tersebut dikaitkan dengan hadis mudallas karena hadis mudallas mengandung kesamaan dan ketertutupan. Nur al Din ‘Itar,       Op. Cit., Juz II,hlm. 166. Pertama, tadlis al-isnad, yakni seorang periwayat hadis menyatakan telah menerima hadis dari periwayat lain semasa dengannya. Padahal mereka tidak pernah bertemu atau mungkin di antara mereka terjadi pertemuan,akan tetapi di antara mereka tidak ada kegiatan tahmmul wa al-‘ada’. Kedua, tadlis ay-Suyukh, yakni seorang periwayat mengaku menerima hadis dari seorang syaikh hadis, akan tetapi ia salah satu menyebut identitas syaikh yang menyampaikan hadis kepadanya. As-Salah, Op. Cit., hlm. 66. As-Suyuti, Tadrib..., hlm. 223 – 224, dan 228 – 229

[59]Hadis mu’an’an ialah hadis yang periwayatnya mengatakan dari fulan.                                   At-Tahhan, Op. Cit., hlm.86

[60]Hadis mu’annan ialah hadis yang periwayatnya mengatakan haddasana Fulan anna Fulan qala. Ibid, hlm.87

[61]. Selain kedua syarat tersebut, Malik bin Anas, Ibn ‘Abd al-Barr, dan al-‘Iraqi menambahkan satu syarat lagi, yaitu para periwayat haruslah orang-orang kepercayaan. As-Salih Op. Cit., hlm. 222. Ulama hadis mempersoalkan teknis pertemuan tersebut. Baginya yang penting adanya kemungkinan terjadinya liqa’. Itulah yang disebutnya dengan istilah adanya kesezamanan (al-mu’asarah) dan inilah yang disepakati ijma’. Pendapat yang lain mensyaratkan adanya persahabatan yang lama antara periwayat dengan periwayat yang di antarai oleh huruf ‘an terdekat sebelumnya. Muhammad as-Sabbag. Al-Hadis an- Nabawi, Mustalahuhu, Balagatuhu,Ulumuhu, Kutubuhu (Riyad: Mansurat al-Maktab al-Islamiyah, 1972), hlm.185.

[62] Hadis maudu’ adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi SAW, dengan cara dibuat – buat dan dusta dari apa yang tidak pernah diucapkan, dilakukan atau ditaqrirkan oleh Nabi. Al – Khatib, Op. Cit., hlm. 415.

[63] Hadis matruk adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang tertuduh berdusta (tuhmah bi al-kazib), atau menampakkan kefasiqan dengan perbuatan dan perkataan, atau banyak lupa.Ibid., hlm. 348.

[64] Hadis munkar adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang da’if yang bertentangan dengan periwayat yang tsiqah. Ibid, hlm.348.

[65] Hadis mu’allal didefenisikan sebagai hadis yang di dalamnya terdapat ‘illah yang merusak kualitas hadis, meskipun pada lahirnya tampak berkualitas sahih. Ibid. hlm. 343.

[66] Hadis mudraj  menurut ulama hadis ialah hadis yang di dalamnya terdapat penambahan redaksi pada matan yang berasal dari sanad atau periwayatnya. Ibid., hlm. 370.

 

[67] Hadis mudtarib ialah hadis yang periwayatnya menyampaikan berbagai hadis yang isinya saling bertentangan dan tidak dapat dikonpirmasikan. As-Salah, Op. Cit.,  hlm. 84. as-Suyuti, Op. Cit., hlm. 345.

[68] 64Hadis maqlub  ialah hadis yang periwayatnya di dalam menyebut matan atau periwayat lain secara terbalik-balik. Al-Khatib, Op. Cit., hlm. 345

[69] Adapun yang dimaksud dengan hadis Majhul adalah hadis yang identitas diri periwayat atau kondisi periwayat, seperti keutamaan dan kekurangan tidak diketahi atau dikenal oleh kalangan ahli hadis. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kaburnya identitas rawi, antara lain adalah banyaknya identitas yang disandang oleh seorang perwi, sepert namanya, julukannya, atau gelarnya. at-Tahhan, Op. Cit., hlm.118-119.

[70] Hadis syaz ialah hadis yang bertentangan dengan hadis yang diriwatkan orang yang lebih tsiqah at-Tahhan. Ibid. hlm. 116.

[71] Hadismukhtalif  adalah hadis yang hafalan periwayatnya rusak karena sudah lanjut usia atau mengalami kebutaan, atau hilang daya hafalannya. Ismail, Op. Cit., hlm. 182.

[72] Muhammad Tahir al-Jawabi, Juhud al-Muhaddisin fi Naqd Matan al-Hadis al-Nabawi al-Syarif,  (Tunis : Muassasat Abdul Karim Abdullah, 1991), hlm. 456.

[73] Musfir ‘azm Allah al-Damini, Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah, (Riya’: Jami’ah al-Imam Muhammad  ibn Su’ud al-Islamiyah, 1404H/1984M0, hlm. 117

[74] Uraian masing-masing secera terperinci beserta contoh-contohnya dapat dilihat pada Salah ad-Din bin Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matan (Beirut : Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983), hlm. 239.

 

[75] Muzfir ‘azm Allah  Al-Damini, Op. Cit., hlm. 133-159.

[76] Ibid., hlm. 163.

[77] Ibid., hlm. 168. 

[78] Salah ad-Din al-Adlabi, Op. Cit., hlm. 273-275.

[79] Thahhan, Op. Cit., hlm. 94-96.

[80] Al-Damini menggunakan redaksi ‘ardh al-Hadis `ala al-waqa`i wa al-ma’lumat al-tarikhiyyah (memperhadapkan matan hadis dengan berbagai kejadian dan pengetahuan kesejarahan); sedangkan al-Adlabi menggunakan redaksi naqd al-marwiyyat al-mukhalifah li al-`aql aw al-hiss aw al-tarikh (kritik terhadap hadis-hadis yang bertentangan dengan akal, panca indera, atau fakta sejarah). Al-Damini, Maqayis…, hlm. 183.; Al-Adlabi, Manhaj…, hlm. 303.

[81] Salah ad-Din al-Adlabi, Op. Cit., hlm. 304.

[82] Ibid., hlm. 329, Al-Damini, Op. Cit., hlm. 195.

[83] Al-Adlabi, Op. Cit., hlm. 329.

[84] Al-Damini, Op. Cit., hlm. 207.

[85] Ibid.

[86] Ibid., hlm. 221-222.

[87] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nab, (Jakarta : Bulan Bintang, 1991), hlm. 26-28.

[88] Abu Amir Usman ibn Abdir Rahman ibn as-Salahlm. Ul­mul Hadis, (al-Madinah al-Munawarrah : Al-Maktabah al-Ilmiyah,1972), hlm. 10.

[89] Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Syarh Nukhah ak-Fikr fi Mustalah ahl al-Ashar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah,1934), hlm. 52.

 

[90] Menurut  istilah ilmu Hadis, al-i’tibar berarti menyertakan sanad-sanad yang  lain untuk suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada  bagian  sanadnya tampak hanya terdapat seseorang periwayat saja dengan  menyertakan sanad-sanad yang lain, akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang  lain atau tidak, untuk bagian sanad dari sanad hadis tersebut. Mahmud at-Tahhan,Usul at-Takhrij wa Dirasat   al-Asanid (Halb: al-Matba’ah al-‘Arabiyah, 1978), hlm.140.

[91] Yang dimaksud Mutabi’, yang biasa disebut tabi’ dengan jamak tawabi’ ialah periwayat yang berstatus pendukung pada periwayat yang bukan sahabat Nabi. Sedangkan Syahid, dalam istilah ilmu hadis, biasa diberi kata jamak dengan syawahid, ialah periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai sahabat Nabi. Apabila dalam penelitian perawi yang berstatus sahabat ditemukan kecacatan, maka diteliti sahabat lain, (tabi’) yang sama-sama menerima hadis tersebut dari Nabi, untuk mendukung periwayat yang cacat tersebut demikian juga halnya dengan sahabat Nabi. M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta : Bulan Bintang, 1991), hlm. 52.

[92] Penelitian terhadap Tahammul wa al-Ada’ atau lazim disebut lambang-lambang yang digunakan periwayat dalam penerimaan dan penyampaian hadis, bertujuan untuk menemukan cacat (illat) yang tersembunyi pada lambang-lambang tertentu yang digunakan oleh periwayat dalam meriwayatkan hadisnya. Ibid hlm. 26.

[93] Ahmad Muhammad Syakir. Al-Ba’is al-Hadis Syarh Ikhtisar Ul­mul al-Hadis,  (Al-Azhar : Muhammad Ali as-Sabih wa Auladuh, t.t), cet. III, h 92. Nur ad-Din itar, Manhaj an-Naqd fi Ul­mul al-Hadis,Penerjamah Mujiwo (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1994), hlm.64-66.

[94] Salah ad-Din al-Adlabi , Op. Cit., hlm.45.

 

No comments: